Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat
pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur
perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan
perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi
pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta
suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak
didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Menurut Sulendraningrat yang
mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah
sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang
menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana
bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat
istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau
berdagang.
Mengingat pada awalnya
sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas
pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah
sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian
menjadi Cirebon.[1]
Dengan dukungan pelabuhan
yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah
kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik
dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian
dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran
agama Islam di Jawa Barat
Perkembangan awal
Ki Gedeng
Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga
dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di
pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun
sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun
Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para
pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
Ki
Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa
Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng
Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki
Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi
diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran
Cakrabuana.[rujukan?]
Pangeran
Cakrabuana
Pangeran Cakrabuana adalah
keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari
istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden
Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang
dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak sulung dan
laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran.
Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh
Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di
Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.
Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu
Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.[rujukan?]
Ketika kakeknya Ki Gedeng
Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak
meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan
membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian
disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama
yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam
kepada penduduk Cirebon.[rujukan?]
Pendirian kesultanan ini
sangat berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan
Demak,
Kesultanan Cirebon didirikan pada tahun 1552 oleh panglima
kesultanan Demak, kemudian yang menjadi Sultan Cirebon ini wafat pada tahun
1570 dan digantikan oleh putranya yang masih sangat muda waktu itu.[2]Berdasarkan berita dari klenteng Talang dan Semarang,
tokoh utama pendiri Kesultanan Cirebon ini dianggap identik dengan tokoh
pendiri Kesultanan Banten yaitu Sunan Gunung Jati.[2]
Sunan
Gunung Jati (1479-1568
Lukisan Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1479 M, kedudukannya
kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya
dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah
(1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar
Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan
bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba
Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.[rujukan?]
Pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini
sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama
Islam di Jawa Barat sepertiMajalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[3]
Fatahillah
(1568-1570)
Kekosongan pemegang
kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama
Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan.
Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi
raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya
berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun
setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan
Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.[rujukan?]
Panembahan
Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah,
oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh
kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Mas, putra tertua Pangeran Dipati
Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan
Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.[rujukan?]
Panembahan
Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I
meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan
oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah
Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah
meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya
almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan
sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II
Panembahan Girilaya pada
masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu
Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon
dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan
Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak
sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini
memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.[rujukan?]
Panembahan Girilaya adalah
menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di
Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri,
Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi
makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.[rujukan?]
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan
Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung
jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat,
khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta
bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam
Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang
untuk memperbaiki hubungan diplomatik Banten-Cirebon. Dengan bantuan
Pemberontak Trunojoyo yang disokong oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran
tersebut berhasil diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng
Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di
Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai
Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya
sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras
selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini
dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
Perpecahan
I (1677)
Pembagian pertama terhadap
Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang
putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan
Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana
kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para
sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya
adalah:
·
Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran
Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin
(1677-1703)
·
Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan
gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
·
Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan
Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan
Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari
Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan
oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota
Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan
keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan
melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton
sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron),
yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di
Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan
tradisi keraton, di mana seorang sultan
akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika
tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang
dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan
II (1807)
Suksesi para sultan
selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan
Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya,
yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri
dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja
Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat
Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan
pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan,
cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu
penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman.
Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain
bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
Setelah masa kemerdekaan
Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan
pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap
menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah
Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara
dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan
sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan
keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai
istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton
Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003,
telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja
Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta
Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan
perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.
WISATA BUDAYA DI KOTA
CIREBON
Kota yang terletak di dekat perbatasan Jawa Tengah ini
memiliki beberapa obyek wisata yang menarik untuk dilihat, khususnya
peninggalan-peninggalan bersejarah yang berkaitan dengan syiar Islam yang
dilakukan oleh salah satu tokoh Wali Songo, Syarif Hidayatullah atau lebih
dikenal dengan Sunan Gunung Jati.
Kota Cirebon juga menjadi salah satu kota pelabuhan terpenting di
pantai utara Jawa setelahJakarta dan Semarang. Disini akan dijumpai pelabuhan
Cirebon, pelabuhan yang memiliki peran strategis dalam hal perdagangan sejak
masa Sunan Gunung Jati masih berkuasa. Kapal-kapal asing yang mengangkut barang-barang
niaga dari dan ke. Pemandangan itu pun masih kita temui hingga saat ini. Bila
kita berjalan-jalan di sore hari, maka akan kita saksikan puluhan kapal-kapal
besar tengah bersandar di dermaga.
Selain itu Cirebon telah lama dikenal sebagai pusat penghasil kain
batik, terutama Batik Trusmi. Dan kota ini juga terkenal dengan kesenian tari
topeng dan musik tarling yang menggabungkan suara gitar, suling dan suara
manusia dalam perpaduan yang harmonis.
Di Cirebon, yang dapat Anda lihat atau lakukan adalah sebagai
berikut:
Berziarah ke makam Sunan Gunung Jati.
Memancing di tepi Pelabuhan Cirebon.
Menyaksikan kesenian tari topeng dan musik tarling.
Menyaksikan acara budaya seperti Grebeg Maulud yang diadakan
setiap tahunnya untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada
tanggal 12 Rabiul Awal.
Mengunjungi keraton-keraton di Cirebon.
Sejak dulu Cirebon terkenal dengan sebutan Kota Udang, maka dari
itu kurang lengkap rasanya apabila Anda tidak membeli oleh-oleh makanan khas
yang terbuat dari udang seperti kerupuk udang, terasi, kecap sampai abon yang
terbuat dari udang maupun ikan asin dan lain-lain. Jika Anda mengincar batik
Cirebon sebagai oleh-oleh Anda, maka Anda bisa mengunjungi Desa Trusmi, sekitar
5 kilometer dari kota Cirebon. Anda juga bisa berburu kerajinan tangan seperti
topeng khas Cirebon
ADAT ISTIADAT
MASYARAKAT KOTA CIREBON
1.Syawalan Gunung Jati
Syawalan Gunung Jati merupakan tradisi ziarah pada bulan syawal setelah idul
fitri ke makam Sunan Gunung Jati. Pada bulan ini, masyarakat Cirebon biasa melakukan
ziarah dan tahlilan di makam Sunan Gunung Jati Cirebon. Setiap Syawalan
biasanya tempat ziarah makam Sunan Gunung Jati dipenuhi para peziarah hampir
dari semua daerah Cirebon dan daerah lain di sekitarnya.
2. ganti Walit
Ganti Walit adalah
upacara adat di makam kramat Trusmi Cirebon. Upacara yang dilaksanakan setiap
tahun di Makam Kramat Trusmi ini bertujuan untuk mengganti atap makam keluarga
Ki Buyut Trusmi yang menggunakan Welit (anyaman daun kelapa). Upacara ini
dilakukan oleh masyarakat Trusmi Cirebon. Biasanya dilaksanakan setiap tanggal
25 bulan Maulud.
3. Rajaban
Rajaban adalah tradisi upacara dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan
Pangeran Kejaksan di Plangon. Rajaban umumnya dihadiri oleh para kerabat dari
keturunan kedua pangeran tersebut. Ziarah ini dilaksanakan setiap tanggal 27
Rajab. Obyek wisata ini terletak di Plangon Kelurahan Babakan Kecamatan Sumber,
kurang lebih 1 Km dari pusat kota Sumber.
4. Ganti Sirap
Ganti Sirap merupakan upacara 4 tahunan (dilaksanakan setiap 4 tahun sekali) di
makam kramat Ki Buyut Trusmi untuk mengganti atap makam yang menggunakan Sirap.
Upacara ini biasanya dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit dan terbang.
Sirap adalah bahasa Cerbon yang atap.
5. Muludan
Muludan merupakan upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud (Maulud) di
Makam Sunan Gunung Jati. Kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan /menyuci
Pusaka Keraton yang dikenal dengan istilah ”Panjang Jimat”. Kegiatan ini
dilaksanakan setiap tanggal 8-12 Mulud. Sedangkan pusat kegiatannya berada di
sekitar Kraton Kasepuhan.
6. Salawean Trusmi
Selawean Trusmi merupakan salah satu kegiatan ziarah yang dilaksanakan di
Makam Ki Buyut Trusmi. Dalam ziarah, biasanya diisi dengan tahlilan di makam Ki
Buyut Trusmi. Selawean (bahasa Cerbon) berarti dua puluh lima, oleh karena itu
kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 25 bulanMulud.
7. Nadran
Nadran atau pesta laut, sesuai dengan namanya, dilaksanakan oleh masyarakat
nelayan sebagai upacara terima kasih kepada Sang Pencipta (Allah SWT) yang telah
memberikan rezeki dengan tujuan untuk mengharapkan keselamatan. Upacara Nadran
dilaksanakan hampir sepanjang pantai (tempat berlabuh para nelayan) dengan
kegiatan yang sangat bervariasi. Upacara ini dilaksanakan setiap satu tahun
sekali.
Kondisi Ekonomi
Kerajaan Cirebon
EKONOMI
Sebagai sebuah kesultanan yang
terletak diwilayah pesisir pulau Jawa, Cirebon mengandalkan perekonomiannya
pada perdangangan jalur laut. Dimana terletak Bandar-bandar dagang yang
berfungsi sebagai tempat singgah para pedagang dari luar Cirebon. Juga memiliki
fungsi sebagai tempat jual beli barang dagangan. Dari artikel yang ditulis oleh
Uka Tjandrasasmita, yang dibukukan dalam sebuah buku kumpulan artikel oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta. Dituliskan sebuah artikel yang
berjudul “Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia”, dalam artikelnya terbagi
menjadi 3 periode, yaitu: Bandar Cirebon masa pra-islam, Bandar Cirebon masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan islam, dan masa pengaruh kolonial.
Pada masa pra-islam Cirebon masih
dalam kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Pada masa ini pula terdapat Bandar
dagang yang berada di Dukuh Pasambangan dengan bandar Muhara Jati. Kapal-kapal
yang berlabuh di bandar Muhara Jati antara lain berasal dari Cina, Arab,
Tumasik, Paseh, Jawa Timur, Madura, dan Palembang (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1997:56).
Dikatakan
bahwa sebelum Tome Pires (1513) Cirebon
masih berkeyakinan Hindu-Buddha. Pada saat ini Ciebon masih dibawah kekuasaan kerajaan
Sunda Pajajaran. Menurut cerita tradisi Cirebon mulai memeluk agama islam
sekitar tahun 1337 M yang dibawa oleh Haji Purba. Pada abad 14 M perdagangan
dan pelayaran sudah banyak dilakukan oleh orang muslim.
Dari cerita
Purwaka Caruban Nagari diperoleh informasi bahwa terjadi perpindahan Bandar
perdagangan. Bandar dagang yang dahulunya terlertak pada Bandar Muhara Jati di
dukuh Pasambangan dipindah kearah selatan yaitu ke Caruban. Alasan mengapa
Bandar dagang dipindahkan, menurut cerita Bandar dagang di Muhara jati mulai
berkurang keramaiaannya. Caruban sendiri dibangun o0leh Walangsungsangatau Ki
Samadullah atau Cakrabumi sebagai kuwu dan seterusnya. Sejak Syarif
Hidayatullah, Bandar-bandar di Cirebon makin ramai dan makin baik untuk
berhubungan dengan Parsi-Mesir, Arab, Cina, Campa, dan lainnya (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:56).
Dengan
kedatangan Belanda keadaan ekonomi di Cirebon dikuasai penuh oleh VOC. Dengan
diadakannya perjanjian antara Belanda dengan Cirebon 30 April 1981, Cirebon
selalu akan memelihara kepercayaan terhadap Belanda. Akan tetapi, seluruh
komoditi perdagangan di Cirebon, dikuasai Belanda, hal ini hanya akan
menguntungkan pihak Belanda dan merugikan Cirebon. Belanda menerapkan monopoli
perdagangan dan pertanian, salah satu contohnya yaitu kebijakan menanam 10
pohon kopi tiap kepala keluarga di Priangan Timur. Juga dengan surat perintah
tanggal 1 Maret 1729.
Dari
gambaran diatas kita kenali bahwa pihak kesultanan sendiri dalam menjalankan
perekonomian terutama terhadap komoditi-komoditi ekspor kurang, peranannya
lebih banyak ditangan Belanda. Hal itu semuanya jelas dampak negative pengaruh
kolonialisme Belanda sejak perjanjian tahun 1981 dan seterusnya. Dengan
perjanjian-perjanjian tersebut Belanda sejak Kompeni menginginkan penguasaan
atas daerah subur produksi kopi dan lainnya dapat terlaksana, disamping rasa
ketakutannya terhadap penguasaan daerah Priangan Timur itu dikuasai oleh Banten
dan juga Mataram (Departemen Pendiidikan dan Kebudayaan, 1997:67).
Selain yang
telah dibahas diatas, keadaan ekonomi yang diterangkan oleh Uka Tjandrasasmita.
Dapat dilihat pula keadaan perekonomian dari sumber lainnya. Selain perdagangan
dan pelayaran. Perekonomian Cirebon juga ditunjang oleh kegiatan masyarakatnya
yang menjadi nelayan. Cirebon juga dikenal sebagai kota udang, artinya Cirebon
juga memiliki satu komoditi dagang utama yaitu terasi, petis dan juga garam.
Dalam
kehidupan ekonomi juga masih ada peran dari orang asing. Orang asing tersebut
menjadi syahbandar atau yang mengantur tentang ekspor impor perdagangan.
Cirebon yang menjadi syahbandarnya yaitu orang-orang Belanda. Alasan mengapa
syahbandar diambil dari orang-orang asing, karena orang-orang asing dianggap
lebih mengetahui tentang cara-cara perdagangan. Di kota Cirebon juga terdapat
pasa tertua yaitu pasar yang terletak di timur laut alun-alun kraton Kasepuhan
dan lainnya di sebelah utara alun-alun kanoman.